News
Dua Lukisan
Aksara
Foto: Ilustrasi. Dokumentasi: Istimewa
968kpfm – Cerita Pendek Oleh: Julie Binjie
Semua media menceritakannya. Ia adalah pusat cerita yang ada saat ini. Setiap orang harus sadar jika ia ada. Walau pada nyatanya, sebagian orang tetap abai dan menganggap ia tak ada. Namun, fakta yang sekarang terpampang merubah banyak hal dalam kehidupan, tanpa kecuali.
Betapa berat kerja mereka di atas sana. Betapa gemas mereka yang di bawah sini. Betapa geram Langit karena tak bisa lagi melukis di lapaknya--sebuah petak tanpa batas, hanya beralas terpal dan kanvas, di sudut lahan parkir mall Blok M.
"Seharusnya kamu senang masih bisa bekerja di rumah Lang. Lihat, makin seram saja efek si Vivid itu."
"Covid, Mak."
"Ah, apalah namanya, tak penting. Kalau orang sehat saja ternyata bisa tiba-tiba koit, kan berabe juga itu."
"Iya Mak, Langit juga tetap bersyukur, kok."
Emak sedang memindahkan nasi dari dandang ke tampah bambu. Nasi itu akan dibungkus dengan lauk pauk, lalu dijual. Dari sanalah Langit kecil dulu hidup, sejak Bapak meninggal karena sakit yang tak satupun orang tahu.
Langit masih kecil saat itu. Ketika embusan kalimat-kalimat dari tetangga tentang pelet, orang kedua, dan pembunuhan ia dengar, Langit hanya diam. Ketika ia sampaikan pada Emak, perempuan itu justru memintanya untuk tidak percaya pada apa pun yang orang bilang, selain Emak.
Itulah sebabnya Langit hampir tidak mudah percaya pada orang lain. Tak peduli itu temannya sendiri. Hanya Emak yang ia percaya.
***
Rumah ukuran 45 meter persegi itu sudah menaungi Langit dan ibunya. Ada dua kamar, salah satu kamar sudah merangkap menjadi studio. Segala perlengkapan lukis berserakan. Ini selalu menjadi bahan omelan Emak setiap hari. Namun, setiap Emak masuk, tidak pernah berubah kondisi kamar itu: berantakan.
"Nanti Langit bersihkan Mak," elaknya selalu.
Apakah benar begitu? Tidak. Kamar itu tetap sama. Terlebih sejak beberapa bulan terakhir Langit selalu di rumah, kamar itu sudah tidak bisa lagi disebut kamar. Entah bagaimana ia tidur di antara tumpukan kanvas, cat, kuas bahkan beberapa lukisan yang sudah siap dijual.
"Lang, yang 30 ke Pak Gun, 20 ke Bu Surti, 50 ke Bu Joko, ya."
"Iya, Mak."
"Ingat, setelah semua terkirim, langsung pulang, jangan mampir sana sini dulu."
"Emang Langit bisa ke mana lagi, Mak? Semua mall tutup."
Emak meringis. "Siapa tahu kamu mau nyamperin si Bunga. Eh, kamu masih suka sama dia, kan?"
Kali ini Langit yang meringis. Emaknya ini senang betul membuat anaknya keki. Daripada makin panjang ledekan si Emak, Langit buru-buru melarikan sepeda motornya mengantar 100 nasi bungkus pesanan langganan Emak. Ia masih sempat mendengar kekehan Emak sebelum sepeda motornya melaju kencang di jalanan.
***
Lukisan bisa menjadi makanan hati. Memandangnya, kadang mampu memuaskan rasa lapar dan dahaga jiwa. Seperti itulah kesan yang timbul dari setiap lukisan yang tercipta dari tangan Langit.
Dalam tiap goresan ada makna yang sejatinya Langit selipkan di sana. Makna yang tak jarang ditangkap berbeda bagi yang memandangnya. Begitulah terkadang yang berlaku setiap Emak melihat hamparan lukisan yang terserak di kamar Langit.
"Kalau kamar ini kamu isi dengan semua lukisan, di mana kamu akan tidur Lang?"
"Di kamar Emak, lah."
"Eh, enak saja. Bagaimana kalau kamu jual lewat toko daring, Lang?"
"Siapa yang mau beli lukisan dari pelukis jalanan ini, Mak."
"Kamu jangan mengecilkan dirimu sendiri. Coba dulu."
Langit menarik gawainya yang jarang sekali ia gunakan. Benda itu tak lebih menjadi alat penerima pesanan dari langganan Emak. Kadang ia melihat barang-barang dagangan teman-temannya di sana. Entah mengapa temannya sering sekali mengirimkan tautan toko daring mereka. Ada saja yang dijual: makanan, aksesori bahkan bumbu masak. Itu bukan barang-barang yang Langit perlukan.
"Dalam kondisi gerak yang terbatas, jualan daring bisa jadi solusi, Lang."
Emak mengoceh lagi di sela membungkus nasi bungkus. Tangannya yang gelap lincah membalut nasi dan lauk jadi begitu rapi.
Langit masih melotot melihat layar gawainya. Proses membuka toko daring tidak semudah yang ia duga. Tiba-tiba saja ia bangun dari duduknya, berlari ke kamar dan keluar dengan membawa dua lukisan.
"Emak lihat, foto ini sudah bagus belum?"
"Cakep, Lang. Pasti bisa laku dengan harga mahal."
"Aduh Emak ini, lihat aja enggak."
Langit cemberut. Emak terkekeh pelan.
***
Sejak foto lukisannya muncul di belantara toko maya, ponsel Langit terus berbunyi. Ada saja yang tanya-tanya tentang lukisannya. Saat transaksi pertama selesai, Langit girang bukan kepalang.
"Emak memang cakep, deh."
"Hmmm, sekarang muji-muji. Cepat kosongkan isi kamarmu itu. Emak enggak mau kamu ngorok di kamar Emak."
Bibir tebal Langit melebar. Perintah Emak tidak perlu diulang dua kali. Ia sudah menjual hampir setengah lukisannya. Dalam hati tak henti doa ia panjatkan agar semua lukisan itu laku.
Langit tidak memasang harga mahal. Ia hanya menghitung biaya-biaya dan sedikit sisa untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Dengan kualitas goresannya yang cukup tegas, lukisan yang ia pasang di toko daring itu laku keras.
Sudah sebulan berlalu dan belasan lukisan keluar dari kamarnya yang sempit. Ia semakin sibuk menambah koleksi lukisan hingga tak lagi bisa banyak membantu Emak dengan nasi bungkusnya. Pengiriman sekarang Emak lakukan dengan ojek daring juga.
"Kalau keluar kirim barangnya, pilih yang dekat-dekat saja, Lang. Sampai rumah ganti baju dan langsung mandi."
"Iya Mak, Langit pilih kantor kurir yang terdekat. Tak usah mandi lah, Mak."
"Jangan anggap remeh, Lang. Ingat, mereka yang kelihatan sehat belum tentu tidak dijangkiti. Ingat kan, kasus hepi poksia itu?
"Happy Hypoxia, Mak."
"Iya, itu."
***
Kamar. Lukisan. Toko daring. Kurir. Uang. Itu saja kini rutinitas Langit. Untuk mengejar target lukisan, Langit kadang harus begadang. Pesan Emak terbang.
Dua hari lalu seseorang dari masa lalu Langit kembali. Ia mengirim pesan untuk dikirimkan dua lukisan. Langit sempat menolak karena salah satu lukisan yang diminta adalah lukisan wajah.
Selama ini Langit tidak melukis wajah, ia hanya melukis alam, bangunan dan semua benda mati lainnya. Langit tidak bisa melukis wajah, tepatnya tidak suka. Namun, kawan lama itu memaksa. Atas dalih permintaan terakhirnya sebelum ia mati. Sang Kawan mengaku ia divonis kanker dan hanya menunggu waktu saja untuk pergi selamanya.
Langit tak bisa menolak. Selama dua hari ia begadang menyelesaikan dua lukisan itu. Pada pagi ketiga, kedua lukisan sudah rapi terbungkus dan siap dikirim.
Permintaan berikutnya adalah Langit harus menyerahkan sendiri lukisan itu.
"Temanmu kok aneh, Lang."
"Orang kalau mau meninggal biasanya begitu, Mak."
"Eh, tapi kamu juga belakangan hari aneh, lho."
"Aneh apa, Mak?"
"Minum kopi dua gelas, padahal selama ini kamu enggak suka kopi."
"Ah, Emak jangan bercanda ah, dari dulu Langit suka kopi."
Perdebatan itu berakhir ketika suara notifikasi di ponsel Langit terdengar.
"Langit berangkat, Mak."
***
Emak sudah menunggu sejak bakda asar di depan rumah. Seharusnya Langit sudah pulang sejak siang. Tidak ada cara lain, Emak meminta tolong tetangga samping rumah untuk menghubungi ponsel Langit.
"Enggak diangkat, Mak Imah."
Emak masuk saat azan magrib dari surau terdengar. Perasaannya mulai tak tenang. Mengapa Langit belum pulang? Apakah terjadi sesuatu di luar sana?
Dalam salat Emak bicara pada Tuhan. Ia minta jangan diambil lagi satu-satunya harta paling berharga yang tersisa. Cukup sudah satu belahan jiwanya pergi. Kalau satu yang tersisa juga raib, bagaimana ia bisa bertahan hidup?
Tanda-tanda selalu tersedia. Namun tidak semua orang mampu membaca. Karena manusia terkadang lebih leluasa bermain dengan rasa. Emak duduk di depan televisi dan menyalakannya. Ia memutuskan menunggu Langit sambil menonton berita. Saat televisi menyala, saat itu sang pembaca berita berkata.
Seorang lelaki tanpa identitas ditemukan meninggal dalam angkutan nomor sebelas, rute Tanah Abang - Kebon Jeruk. Satu-satunya barang di dekat lelaki hanya dua buah lukisan yang sudah tidak terbungkus. Saat ini polisi masih menyelidiki identitas korban.
Gresik, 2020
----------
Tentang Penulis:
Julie Binjie telah menulis puluhan buku antologi bersama untuk puisi, cerpen, juga kutipan. Buku solo pertamanya berupa antologi cerpen lahir pada 2020 dengan judul ‘Meminjam Waktu.’ Siswi Kelas Puisi Online Angkatan 07, dimentori Muhammad Asqalanie eNeSTe. Bergiat belajar di COMPETER (Community Pena Terbang), Kelas Puisi Alit (KEPUL), kini berdomisili di Sidoarjo.
Email: juliebinjie@gmail.com, Instagram: amiziryulida.