News
Nasi Kuning Dan Cokelat Belimbing
Aksara
Foto: Ilustrasi. Dokumentasi: Istimewa.
968kpfm - Cerita Pendek Oleh: Ayat A.S. (Nur Hidayat)
Hari ini aku masih terbaring di Rumah Sakit Panti Rapih. Kuterawang langit-langit berwarna putih dan terawat di atas kepalaku. Sudah setengah bulan aku di sini. Rere, teman karibku, setia menemani. Dia selalu bercerita tentang diriku sendiri. Lantaran kata dokter, setelah kecelakaan, aku hilang ingatan atau amnesia retrograde.
Menurut Rere, malam itu aku dan Adit, pacarku, pulang dari Jalan Seturan. Ingin mempersingkat waktu karena sudah larut malam, kami memotong jalan melalui Jalan Gejayan utara Dixie. Kecelakaan itupun terjadi. Aku ditemukan pingsan di dalam selokan Mataram.
Memang beberapa pengendara sepeda motor sering jatuh ke Selokan Mataram tesebut. Maklum saja, tikungan tersebut cukup tajam dan jalannya terbelah menjadi dua arah serta sedikit gelap. Apalagi konon, katanya tepat di tikungan tersebut terdapat bekas kos putri angker, karena salah seorang penghuninya mati bunuh diri.
Malang bagi Adit, nyawanya tidak terselamatkan. Sementara aku mengalami luka di bagian kepala, sehingga hampir semua kenanganku hilang. Kata dokter Agus yang merawatku, hilang ingatan ini bisa jadi tidak permanen, sehingga aku masih perlu dirawat beberapa waktu untuk pemulihan.
Detail cerita di atas, kudapat dari Rere dan Acil Ida atas perintah dokter Agus. Dengan cara itulah diharapkan seluruh ingatan dan kenangan masa laluku dapat kembali pulih.
Nah, Acil Ida (acil berarti bibi dalam Bahasa Banjar) adalah teman akrab ibuku. Perawakannya tinggi besar, berkulit putih dengan lesung pipit hanya di sebelah kiri. Beliau bila bercerita, selalu bercucuran air mata. Tetapi tidak berapa lama berselang, tertawa lucu.
Namun sudah dua minggu ini Acil Ida harus pulang kampung, karena beliau mengurus warung nasi kuning kami. Sebelum pulang, beliau sempat bercerita tentang tragedi yang berturut-turut telah menimpaku.
Belum genap setahun yang lalu, ayahku meninggal dunia karena jatuh di kamar mandi. Ihwal itu terjadi ketika aku berada di rumah saat libur kuliah, tetapi aku tak ingat sedikit pun. Satu tahun sebelumnya, ibuku meninggal dunia karena sakit-sakitan. Acil Idalah yang merawat ibu, sambil membantu berdagang.
Ibuku dan Acil Ida adalah sahabat akrab sejak SMA. Mereka sepakat untuk kuliah bersama sebagai perawat. Namun karena ibu harus meneruskan usaha nenekku berjualan nasi kuning, maka pupuslah keinginannya berkuliah. Selanjutnya, aku dijadikan ibu sebagai pelampiasan untuk kuliah di Jawa. Ibu selalu ngotot agar aku kuliah di kedokteran, sementara aku sebenarnya lebih tertarik untuk membantu bisnis jualan nasi kuning mereka. Walau akhirnya aku luluh dan mau kuliah, nyatanya tidak bertahan lama. Aku berhenti, dan mengulang lagi kuliah di ilmu budaya. Kini, dengan segala peristiwa tragis di keluargaku, nampaknya aku juga mengubur impianku melanjutkan kuliah.
Acil Ida sempat bekerja di klinik swasta. Sejak suaminya meninggal, dan tak ingin berprofesi perawat lagi, beliau diminta ibu membantu berjualan nasi kuning. Nasi kuning adalah makanan keseharian masyarakat di Kalimantan termasuk di kotaku, Samarinda. Makanan ini umumnya dijual pada pagi hari sebagai menu sarapan, namun kemudian di malam haripun menjadi favorit. Ibuku merupakan generasi ketiga dari bisnis keluarga ini. Usaha tersebut boleh dikatakan sangat berhasil, dari berdagang, ibu bisa membangun rumah bangsalan dan membiayai kuliahku, sebagai anak satu-satunya ke Yogyakarta.
Acil Ida bercerita, setelah ibu wafat, aku yang memintanya untuk menikah dengan ayahku, sekalian membantu ayah berjualan nasi kuning dan mengelola bangsalan kami, sementara aku melanjutkan kuliah. Di tangan dingin beliau, usaha nasi kuning kami semakin meningkat, dan sekarang telah memiliki dua cabang yang tersebar di Samarinda.
Acil Ida sudah menganggapku seperti anaknya sendiri, dan tiap bulan aku selalu dikirimi uang kuliah yang sangat berlebih. Aku dan Adit tidak seperti umumnya mahasiswa perantauan, karena kami lebih sering menghabiskan waktu dari kafe ke kafe yang menjamur di Jalan Kaliurang, bahkan sesekali kami menonton di XXI Premier.
* * *
Sore ini Rere datang dengan membawa cokelat rasa belimbing. Katanya, ini kesukaanku dan ibuku. Bicara masalah cokelat, aku jadi teringat, Acil Ida pernah bercerita bahwa dulu aku secara rutin mengirim ibuku cokelat merek ini, yang merupakan oleh-oleh khas Yogya. Setiap bulan, aku berkirim dalam jumlah lumayan banyak. Berbagai varian rasa, sebetulnya tersedia, dari rasa buah-buahan hingga jahe bahkan rendang. Namun ibuku paling suka rasa belimbing. Jadi jika aku berkirim cokelat aneka rasa ke Samarinda, maka rasa belimbing jadi jatah khusus ibuku.
Ibuku sangat menikmati cokelat kirimanku. Bahkan saat sakit pun, kata Acil Ida, ibuku paling suka makan cokelat sambil minum teh panas. Katanya, paduan rasa manis, asam dan pahit menerbitkan seleranya. Mengingat kisah Acil Ida itu, menetes air mataku. Bukan karena teringat sosok ibuku, bahkan sebaliknya, mengapa kenangan tersebut saat ini tidak tersimpan di hatiku.
Untunglah keberadaan Rere yang sekarang sedang membesuk, menghibur hatiku. Aku segera membuka kemasan cokelat yang dibawanya, dan melahap sambil mendengarkan dia bercerita.
Dia berkisah tetang pertemuanku dengan Adit, dan kuperhatikan, anehnya, Rere selalu membuka buku saat bercerita.
“Re, kenapa sih kamu selalu melihat catatan kalau cerita?” tanyaku.
“Saran dokter, aku harus menceritakan kronologis secara benar, dan jangan sering mengulang cerita yang sama. Makanya aku catat,” jawabnya sambil melempar senyum kecil.
Dalam hati aku sungguh bersyukur, beruntung sekali aku memilikinya sebagai kawan.
Berdasarkan kisah Rere, aku bekenalan dengan Adit sejak aku kuliah di kedokteran, dan terus berlanjut sampai aku pindah kampus. Rere menceritakan ciri-ciri Adit secara detail, katanya Adit tinggi, kurus, hitam dan medok jawanya kentara banget, tapi kata Rere dia sangat sayang padaku.
Semua informasi yang diceritakan Rere maupun Acil Ida tidak mudah untuk kuserap. Dan di luar cerita kedua orang tersebut, yaitu saat aku kecil sampai aku lulus SMA, hanya seperti kabut. Semakin kupaksakan untuk mengingat, semakin terasa pusing.
Orang tua Adit pernah datang sekali menjengukku, hadir dengan tatapan dingin dan tanpa senyum, seolah menyalahkan aku sebagai sebab kematian anak mereka. Aku berusaha meminta maaf, walau aku pun bingung untuk menjelaskan kejadiannya. Mataku yang berkaca-kaca dan suara yang terisak, membuat Rere mengenggam erat tanganku.
Kata Rere, malam itu aku pergi dengan Adit mengunjungi seorang kawan, dan tidak kembali hingga larut. Sebagai teman satu kos, tentu saja Rere sangat khawatir. Lewat tengah malam, pihak rumah sakitlah yang menghubungi Rere setelah memeriksa daftar panggilan tak terjawab di ponselku.
* * *
Dan tibalah saat dokter menyatakan bahwa kesehatan fisikku sudah pulih, walau ingatku belum kembali seperti semula.
Dengan rasa bahagia, aku diantar Rere ke bandara New Yogyakarta Kulonprogo. Dari situ, aku ikut penerbangan langsung ke Samarinda.
Namun di antara luapan gembira, terselip rasa sedih karena akan berpisah dengan Rere. Selama tiga bulan ini, bila tidak ada kuliah, dia selalu menyempatkan diri untuk menemaniku. Bahkan dia rela mengerjakan semua tugas kampus di rumah sakit. Suatu malam aku terjaga, mendengar dengkuran ringan berirama dari mulut mungilnya. Badannya ditekuk kedinginan karena AC ruangan. Kuselimuti tubuhnya, dengan diliputi rasa syukur bercampur kecewa, karena tidak mampu mengingat apapun tentang dia sebelum kecelakaan yang menimpaku.
Sampai di Bandara Samarinda, aku berhenti sejenak untuk mengumpulkan tenaga dan mengembalikan semua memori tentang kota ini. Baru keluar dari bandara, sayup terdengar suara Acil Ida memanggil namaku. Dengan berhambur air mata, beliau tiba dan memelukku. Entah mengapa, beliau selalu menangis bila bertemuku, mungkin antara suka dan sedih. Namun, seperti biasa, beberapa saat kemudian, pasti beliau akan sibuk bercerita tentang hal lucu.
Sepanjang jalan beliau menceritakan tentang perubahan di kota kelahiranku ini, mal yang terus tumbuh dan jalan yang semakin berdebu, dengan hampir semua badan jalan telah disemenisasi. Sering aku terdiam, bukan hanya bingung dengan cerita beliau yang lincah melompat ke sana ke mari, tapi juga serbuan infromasi yang masuk ke dalam otakku. Bila semuanya sudah tidak dapat kutampung, maka aku akan memejamkan mata. Lalu, rupanya sadar bahwa aku tidak mendengarkan omongan beliau, Acil Ida merangkulku, dan dengan lembut menyandarkan kepalaku ke pundaknya yang besar dan empuk. Terasa damai. Air mataku mengalir dengan alasan yang tak kupahami.
Tiba di rumah, begitu banyak kerabat yang menyambut. Silih berganti mereka mengingatkan bahwa mereka adalah sanak keluarga, teman SMA, tetangga, sahabat masa kecil, dan seterusnya. Semua informasi ini semakin membuatku lelah, dan akhirnya memutuskan untuk tidur sebentar.
Aku terjaga mendengar suara panggilan dari ponselku. Nama Rere muncul di layar. Teman karibku itu berkata, bahwa dia khawatir karena aku tidak berkabar sejak berangkat dari Yoyga pagi tadi. Lalu, setelah berbasa-basi sejenak, tiba-tiba dengan suara berbisik dia menyuruhku keluar rumah. Tentu aku bingung, tetapi kuikuti saja keinginannya. Berada di halaman depan rumah yang mulai remang karena sudah lewat senja, membuatku sadar bahwa tadi aku tertidur cukup lama.
“Met, maaf banget ya, semakin aku pikirkan, kok semakin terasa ada yang janggal dengan kehidupanmu,” dia berkata terdengar serius.
Aku yang sedang berdiri sendirian di halaman depan rumah yang remang sambil menerima teleponnya, jadi penasaran.
“Orang tuamu meninggal tidak berselang lama, ‘kan ya?” lanjutnya. “Dan kamu pernah cerita, kalau ibumu meninggal karena sakit-sakitan yang tidak jelas ….”
“Memang kenapa, Re?” tiba-tiba aku merasa tidak enak.
“Aku khawatir dengan kamu, ‘kan kamu pewaris tunggal dari orang tuamu. Jangan-jangan ....” Suara Rere terhenti.
“Kamu bikin aku takut.” Suaraku bergetar.
“Jangan-jangan… Acil Ida berusaha mengambil hak kamu. Eh, maaf banget ya, Meta. Tapi kamu harus selalu berhati-hati, walau semoga saja aku salah.”
Rere mengakhiri teleponnya, meninggalkan berbagai perasaan berkecamuk di hatiku. Marah, bingung, takut dan was-was. Sulit menerima bayangan wajah Acil Ida yang sering menangis dan tertawa itu sebagai wujud monster jahat.
Tiba-tiba sebuah suara membuyarkan lamunanku, “Pantas Acil cari dari tadi tidak ketemu, di sini kamu rupanya. Ayo mandi, sudah malam.” Acil Ida muncul di teras dengan senyumnya yang lembut.
Berada di dalam kamar mandi, aku masih memikirkan perkataan Rere. Tanpa sadar, sampo yang kutuang ke telapak tangan, luber hingga tersebar di lantai, bercampur air dari shower yang terus mengalir di atas kepalaku.
Tiba-tiba terdengar gedoran dari luar pintu kamarku. Samar terdengar suara Acil Ida, “Meta, kamu tidak apa-apa? Lama betul di kamar mandi?”
Aku terperanjat. Semula aku berdiri menghadap dinding, reflex membalikan badan. Saat itulah aku terpeleset. Semakin aku berusaha menyeimbangkan badan, semakin aku condong ke belakang. Akupun terjatuh. Kepalaku tepat membentur dinding kamar mandi.
Aku tak tahu berapa lama tak sadar. Ketika kubuka mata, aku tersandar di dinding kamar mandi, dan kurasa ada darah di pelipisku yang perih. Sementara air dari shower masih mengalir menyirami kakiku.
Kubiarkan diriku duduk memandangi lantai yang berbusa-busa sambil berusaha mengumpulkan ingatan apa yang baru terjadi. Aku merasakan deja vu dengan sampo yang membuat licin lantai.
Lalu seperti sebuah bendungan yang baru dibuka, aliran informasi berlimpahan menyerbu otakku. Semua ingatan masuk, berputar-putar kemudian membentuk pola. Seperti kepingan-kepingan jigsaw puzzle yang disihir, berterbangan kemudian menyatu utuh.
Dimulai dari ingatanku saat aku pulang ke rumah ketika liburan dengan mengajak Adit. Aku menjelaskan pada orang tuaku kalau aku ingin berhenti kuliah dan melanjutkan usaha ibu. Saat itu orang tuaku sudah marah, dan bertambah murka ketika tahu Adit yang berbeda agama, dipastikan berpacaran denganku. Ibu marah dan menangis sejadi-jadinya, sementara ayah memaki dan menyuruh Adit untuk segera kembali ke Yogya. Untung saja Acil Ida menahan tangan ayah pada saat ingin menampar wajahku.
Besoknya Adit diantar ayah ke bandara, sementara aku hanya terdiam tanpa suara. Acil Ida, yang kemudian mendamaikan kami. Sejak itu aku disuruh pindah ke universitas lain agar tidak lagi bertemu Adit. Aku meyakinkan keluargaku, bahwa aku sudah tidak lagi berhubungan dengan Adit. Lalu hubunganku dengan orang tuaku mulai pulih. Salah satunya, dengan cara rajin mengirim cokelat, yang tanpa mereka tahu, selalu kusuntikan sianida dosis rendah. Tak berapa lama, ibu sakit-sakitan, yang akhirnya membawa maut.
Target berikutnya, ayah. Tak sampai satu tahun, saat pulang kampung, kulancarkan aksiku. Kuingat dengan jelas, malam itu aku menuang sejumlah sampo di lantai kamar mandi. Aku paham kebiasaannya yang tidak waspada, dan betul, beliau terpeleset saat ingin buang air kecil.
Acil Ida berteriak dan menangis mendapati suami barunya terkapar di kamar mandi. Aku segera datang, dan menyuruh Acil Ida mencari bantuan. Saat itulah kuperiksa nadi ayah yang ternyata masih berdenyut. Kujambak rambutnya dan kubenturkan ke lantai keramik.
Terakhir, terlintas ingatan saat aku bertengkar dengan Adit. Dia ingin aku tetap di Yogya, tapi aku berkeras untuk pulang mengambil warisanku dari tangan Acil Ida, serta segera mengusir ibu tiriku itu.
Saat kami naik sepeda motor melalui Seturan, aku sengaja meronta. Adit tidak dapat mengendalikan kendaraanya, sehinga jatuhlah kami di Selokan Mataram.
Tersadar aku, ternyata akulah sang monster.
Samarinda, 20 Desember 2020
---------
Nama: Nur Hidayat
Alamat: Jl. Rapak Indah Gg. Pemancingan Karang Asam Ulu Samarinda
email: ayat_btp1@yahoo.co.id
Instagram: ayat4351
Nur Hidayat yang memiliki nama kecil Ayat adalah seorang pengajar di Program Studi Budidaya Tanaman Perkebunan Politeknik Pertanian Negeri Samarinda, memiliki beberapa hobi seperti menulis, menggambar, olahraga dan bercocok tanam.